Meskipun denyut pemulihan industri tekstil sudah mulai terasa saat ini, para ahli batik dan desainer tekstil Indonesia sangat prihatin dengan proses pemiskinan dan penyempitan corak atau desain beragam batik dari berbagai daerah di Indonesia.
Pemiskinan dan penyempitan pertumbuhan desain, terutama dipicu oleh proses “Jawanisasi” dalam desain, serta eksploatasi terhadap desain lama, sehingga beragam corak daerah yang memiliki kekuatan keunikan hilang karena masuknya unsur-unsur desain, teknik pembuatan, dan selera batik Jawa. Untuk itu perlu adanya peningkatan sosialisasi kepada komunitas design terkait.
“Sudah sangat sering saya lontarkan keprihatinan saya ini ke berbagai tempat, memang ada proses ‘Jawanisasi’ dalam desain yang sesungguhnya justru merusak desain-desain dari berbagai daerah. Cuma kegelisahan seperti ini ternyata tidak jadi kegelisahan nasional. Padahal kesalahan seperti ini kemudian jadi kejahatan dalam kesenian yang tidak disadari,” kata Ardiyanto Pranata (55) desainer batik dan tekstil terkenal dari Yogyakarta.
Instruktur desain tekstil dan batik pada Pusat Pengembangan dan Penataran Guru (PPPG) Kesenian Yogyakarta itu terus terang mengemukakan, Indonesia bukan hanya Pulau Jawa. Batik Indonesia bukan cuma batik Jawa. Berbagai daerah di Indonesia sebenarnya memiliki corak sendiri dan jumlahnya luar biasa besar. Dan seiring perkembangan zaman desain batik juga beragam, ada bahkan yang menggunakan teknologi komputer, misalnya teknik animasi macromedia maupun teknik lain.
“Saya beruntung mendapat pesanan untuk mengembangkan desain-desain batik Sulawesi Selatan. Tetapi saya tahu persis, tidak akan saya masukkan unsur-unsur cecek atau isen-isen (dua teknik membatik asal Jawa) pada batik Sulawesi. Desain dan pola-pola yang ada itulah yang akan saya angkat kembali, dan kita ciptakan dalam wujudnya yang baru tanpa menghubungkan dengan teknik pembuatan Jawa. Ini pasti akan menimbulkan kekuatan baru, dan Anda akan heran kalau ini serius ditangani dan ada tenaga-tenaga di daerah, dalam lima-sepuluh tahun lagi akan panen desain batik daerah yang elok,” kata Ardiyanto.
Ardiyanto Pranata menunjukkan puluhan desain (corak) batik klasik Jambi, Bengkulu, Pekanbaru, Manado, dan Sulawesi Selatan sempat mengalami kemunduran desain justru karena campur tangan dan masuknya unsur-unsur asing yang membuat semua batik kita menjadi berselera Jawa. Padahal ciri batik Jawa yang ber-soga, coklat kehitaman, dan simbol-simbol yang termuat dalam desain-desainnya, tidak bisa digunakan untuk berbagai kebutuhan pakaian. Inilah sebabnya, sejumlah desain batik klasik maupun desain yang dianggap baru mengalami kejenuhan pasar.
Ardiyanto yang selama ini dikenal sebagai desainer kain, desainer pakaian serta produsen tekstil mengemukakan, batik Jawa bukannya jelek, tetapi jika kita mengulang-ulang desain yang ada, pasarnya terbatas dan penggunaan corak itu pun terbatas.
www.melihatindonesia.com