Sekolah Seni, Diantara Kontroversi Anak dan Orangtua

Diposting oleh Wikey on Sep 23, 2010




Sebentar lagi kelulusan siswa-siswi SMA se-Indonesia akan diumumkan. Berapapun dari mereka yang akan dinyatakan lulus nanti, adakah yang berminat melanjutkan studi ke Sekolah Seni semisal Institut Seni Indonesia (ISI) Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) yang tersebar di berbagai kota, atau Institut Kesenian Jakarta (IKJ)?

M Nagieb Assegaf, 18 tahun, maju-mundur untuk menyatakan niat demi melanjutkan studi ke Sekolah Seni jurusan Musik kepada Abahnya. Sang Abah memang sejak tiga bulan lalu telah berkali-kali menanyakannya. Belum dijawab sampai sekarang. Sudah ada dibenaknya jika dia memberanikan diri menyatakan niatnya itu lantas Sang Abah akan menimpali, “Terus, mau jadi apa?”.

Siswa kelas 3 SMA Giki II Surabaya yang kini sedang menanti pengumuman kelulusannya ini memang di kelasnya terbilang bodoh secara akademis. Di luar jam pelajaran semasa SMA dulu, tak pernah sekalipun dia terlihat membuka-buka buku pelajarannya. Namun dia bisa betah duduk berjam-jam mencari informasi tentang musik di internet. Dia merasa jika memaksakan ambil jurusan yang umum, entah itu teknik ataupun ilmu-ilmu sosial di bangku kuliah nanti prestasi akademiknya tak akan beda dengan yang diraihnya di bangku SMA. Namun dia tak kunjung berani menyatakan pendapatnya itu ke Abahnya. “Nanti kalau wakunya sudah tepat aku akan bilang ke Abah,” katanya.

Autar menerangkan, lulusan Sekolah Seni ini adalah seniman akademis, bukan seniman otodidak. “Lulusan Sekolah Seni tidak sepenuhnya dipersiapkan untuk menjadi seniman,” katanya. Dulu, Autar mengisahkan, ISI didirikan oleh pemerintah di berbagai kota untuk memenuhi kebutuhan staf di Taman Budaya ataupun instansi terkait lainnya di seluruh Indonesia. Jadi, dulu, seluruh mahasiswa tingkat akhir ISI mendapat Tunjangan Ikatan Dinas (TID) untuk kemudian disalurkan bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di instansi terkait.“Sekarang, agaknya pemerintah kurang perhitungan. Lebih banyak yang lulus dari pada yang dibutuhkan. Akibatnya hanya mahasiswa pilihan dan itu pun sedikit sekali yang mendapat TID dan kemudian menjadi PNS.

Sisanya ada yang bekerja di televisi dan surat kabar, meski banyak pula yang kemudian nyeniman,” terangnya. Autar, lebih lanjut, menyadari masih banyak orang tua yang menentang anak-anaknya untuk masuk melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Seni.

Namun, yang menarik, tandas Autar, dari anak-anak yang pemilihan jurusan kuliahnya ini ditentang oleh orang tuanya, bahkan tampak ada kemamuan untuk membuktikan bahwa asumsi orang tuanya selama ini salah.

Menurut dia, semua pendidikan di berbagai disiplin ilmu, tidak hanya di bidang kesenian saja, harus antisipatif betul terhadap keadaan di sekitarnya. Maka tak heran jika kemudian sebagian besar orang tua tidak menghendaki anaknya melanjutkan studinya di Sekolah Seni. Tak salah pula jika mereka berpikiran bahwa Sekolah Seni tak beda jauh seperti sanggar dan tak jelas lulusannya mau jadi apa. Padahal melanjutkan studi di jurusan apapun selain seni juga tidak menjamin anak-anaknya nanti mau jadi apa. (Hanif Nashrullah)

Promosikan Usaha Anda di Iklan Gratis 88DB.com

halamansatu.net

{ 0 komentar ... read them below or add one }