Alasan Tinggal di Apartemen

Diposting oleh malamjumat on Aug 18, 2009


Banjir besar yang melanda Jakarta mengingatkan warga Ibu Kota dan sekitarnya untuk lebih realistis. Ekspansi pengembang yang mengubah daerah resapan air untuk permukiman, kawasan komersial, kantor pemerintah, dan infrastruktur menginspirasi warga untuk hemat lahan dan lebih menjaga lingkungan.

Warga dengan kesadaran sendiri, kini memilih berdomisili di
apartemen, rumah susun, atau menghuni satu rumah minimal 250 meter persegi untuk beberapa keluarga. Permintaan ruang apartemen dan rumah susun dengan sendirinya terus meningkat. Pemerintah pun menyadari hal ini sebagai fakta-fakta tak terelakkan.


Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kallatelah pembangunan 1.000 tower rumah susun di Ibu Kota & kota-kota besar lain di Indonesia. Rencana besar dengan anggaran triliunan rupiah ini seyogianya segera diwujudkan. Warga perlu mendukung megaproyek ini dengan terus mengingatkan pemerintah untuk segera merealisasikan rencananya. Seperti biasa pemerintah amat kuat dalam perencanaan, tapi lemah dalam perwujudan rencana itu.


Naiknya hasrat tinggal di apartemen perlu terus dipupuk. Sebab, inilah jalan lurus dan benar untuk menjawab ledakan penduduk dan makin berkurangnya ruang permukiman. Pemupukan itu di antaranya dengan kampanye tiada henti akan manfaat apartemen, penjagaan kualitas lingkungan hidup, dan efisiensi lahan.


Upaya memopulerkan hunian apartemen ini bisa melalui banyak instrumen, di antaranya media massa, media luar ruang, sentra komersial, dan bahkan wilayah pendidikan. Apakah
apartemen murah maupun tingkat tinggi. Apabila hasrat menghuni apartemen dan rumah susun akhirnya meledak, arus pencaplokan lahan resapan air akan jauh melambat dan gantinya Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta dan kota-kota besar lainnya akan penuh gedung tinggi. Beberapa apartemen di Jakarta seperti apartemen kemayoran, dll.


Negara-negara tetangga, seperti Singapura, Australia, dan Finlandia, sudah mempraktikkan hunian di apartemen dan rumah susun. Kalau Singapura melakukan dengan amat tertib dan terprogram, bisa dimengerti. Karena negara ini hanya seluas 1.000 kilometer persegi. Lahan mereka amat terbatas, penduduk suka atau tidak suka harus berdiam di apartemen.


Akan tetapi, Australia lain lagi ceritanya. Negeri yang terletak di satu benua sendiri ini luasnya beberapa kali luas daratan Indonesia Namun, penduduknya dengan kesadaran sendiri berdomisili di apartemen. Warga Australia sangat concern pada masalah lingkungan dan hemat lahan.


Contoh ekstrem lain dari kegagalan hemat lahan dan menjaga lingkungan ditunjukkan oleh warga Finlandia. Negara Finlandia luasnya sama dengan Jerman, lebih kurang 30.000 kilometer persegi. Jerman berpenduduk 83 juta jiwa dan Finlandia 5,2 juta jiwa (dalam tempo 30 tahun penduduk Finland hanya bertambah 300.000 jiwa. Sebagian di antara mereka adalah kaum imigran).


Namun, meski memiliki lahan amat luas, warga Finlandia, terutama di Ibu kota Helshinki, suka berdomisili di apartemen. Dalam pandangan banyak warga negara maju, berdomisili di apartemen membuat mereka dapat merengkuh lokasi kerja dalam waktu amat singkat. Ada yang naik kendaraan umum dalam jarak pendek, ada pula yang cukup berjalan kaki. Warga seperti ini tidak sekadar ingin hemat lahan, tapi irit energi dan tidak ingin menambah polusi udara.


Dalam era pemanasan global yang sangat menghantui warga dunia, kesadaran warga tersebut patut dihargai. Warga Indonesia pun patut bersikap seperti itu. Hunian vertikal di apartemen atau rumah susun adalah jalan keluar yang mesti ditempuh. Tidak salah banyak pengembang sekarang yang
jual apartemen secara “gila-gilaan”.


Seperti halnya
apartemen kemayoran yang telah menerapkan hal ini karena daerah ini juga rawan banjir. Makanya sekarang lagi gencarnya jual apartemen kemayoran baik itu apartemen murah maupun yang harganya lebih tinggi. Begitu juga dengan apartemen tempat lain.


www.kompas.com


Dukung kampanye stop dreaming start action sekarang

{ 0 komentar ... read them below or add one }